Beragam Racauan

Rabu, 02 Januari 2013

Album Terbaik 2012 Part. 1

SELAMAT TAHUN BARU 2013!!!

Akhirnya sampai juga di tahun 2013 dan selamat tinggal tahun paling Yin & Yang dalam hidup saya, tahun 2012. Kenapa saya katakan begitu? Karena ungkapan : “hidup itu kadang ada di bawah, kadang ada di atas” benar-benar saya rasakan di tahun itu. Lebih detailnya saya akan ceritakan di postingan yang lain.

Di postingan kali ini saya akan mereview sepuluh album terbaik yang rilisan tahun 2012. Ini sekaligus menjawab tulisan cewek saya, @ninitrenita yang terlebih dulu membuat daftar sepuluh album terbaiknya. Saya baru membalas tulisannya di awal tahun 2013 ini, lagi-lagi karena SKRIPSHIT yang selalu menjadi kambing hitam seperti yang saya tulis di postingan sebelumnya.

Sebenarnya sih ide menulis ini sudah banyak dilakukan orang, terutama bagi mereka yang suka menulis, punya blog, dan punya perhatian khusus terhadap musik. Tapi demi kepentingan menjaga blog agar tetap terisi, maka saya pun berinisiatif mengajak Neng @ninitrenita buat bikin tulisan sepuluh album terbaik 2012. Toh, isinya juga tulisan tentang hal-hal yang kita sukai. Bukankah lebih baik blog pribadi diisi hal-hal seperti itu.

Oh ya, dalam daftar ini, album-album yang saya review lebih kepada review album-album yang saya sukai secara pribadi dan tentunya memiliki kisah atau keterikatan personal dengan hidup saya di tahun 2012. Banyak dari album musik yang saya percaya itu baik namun sayangnya belum sempat terbeli atau bahkan terdengar secara penuh. Sehingga tidak etis rupanya jika mereview namun belum mendengarkan secara utuh.

Dapat dikatakan, karena saya bukan pengamat musik yang mendengarkan setiap album yang rilis di tahun lalu maka ini bukanlah gambaran representatif yang baik untuk sebuah tulisan Album Terbaik 2012. Ini hanyalah Album Terbaik 2012 versi saya, yang sudah saya dengar sejauh ini. Ini dia daftar lengkapnya :

10. Keane - Strangeland


Di akhir Februari 2012 seorang kawan berkicau melalui akun twitternya dan memberi tahu bahwa Keane akan merilis album keempat mereka di pertengahan tahun ini. Melalui sebuah kicauan yang dilengkapi tautan berisi trailer video berdurasi 2 menit 26 detik, dikabarkan trio yang kini berevolusi menjadi kwartet ini akan merilis album berjudul Strangeland pada 7 Mei 2012.

Menurut klaim drummer Richard Hughes, dalam trailer tersebut, Strangeland berbeda dari dua album mereka sebelumnya yang lebih mengeksplor sound synthesizer ala 80-an. “Album yang satu ini tampak seperti melihat ke belakang dan ke depan, semua hal yang kesana-kemari melalui Anda, seperti Anda berada di pulau asing (strangeland),” ungkap Richard di awal video.

Setelah mendengarkan dua belas track yang ada di dalamnya, klaim itu terbukti benar. Pendengar akan terasa seperti mendengarkan Keane di era album Hopes and Fears. Sebutan yang kerap dilontarkan vokalis Tom Chaplin bahwa Keane adalah band piano rock benar-benar terasa kembali di album ini.

Dengarkan saja single pembuka “You Are Young”, single jagoan “Silenced By The Night” dan “ Disconnected”, hingga lagu-lagu upbeat dengan iringan grand piano yang poppies di lagu “Sovereign Light CafĂ©” dan “On The Road”, semuanya seperti mengatakan : “Yes, Keane is back”.

Bahkan, dalam dua lagu yang saya sebutkan terakhir Keane seperti ingin menyingkirkan segala bebunyian berisik dari synthesizer jedak-jeduk untuk membuat keramaian dalam sebuah lagu dan kembali ke hakikat mereka sebagai band piano rock. Sayangnya, album ini dinodai dengan ketidak mampuan saya hadir dalam lawatan perdana Keane ke Jakarta akhir September lalu gara-gara skripsi. Hahaha.


Kamis, 08 November 2012

Ketika Skripsi Menjadi Kambing Berwarna Hitam




Kemarin malam (8/11) seperti tertampar rasanya, ketika dalam beberapa bulan terakhir, skripsi menjadi kambing hitam untuk tidak terlalu terpecah pada urusan lain, termasuk urusan passion. Ya, gara-gara selalu beralasan ingin fokus skripsi dulu, saya selalu menelantarkan kecintaan saya pada dua hal : musik, dan mungkin menulis.

Adalah film pendek sobat saya, si Nadd binti Qodri alias Budji, yang sukses bikin saya envy untuk membuat sebuah karya yang total di tengah-tengah badai skripshit. Film itu sebenernya sederhana. Dibuat secara spontan pas acara BSK (ospek anak-anak Komunikasi Unair) 2012 awal bulan lalu, film ini berkisah, lagi-lagi tentang “skripsi” yang dibicarakan oleh tiga orang mahasiswa dengan sudut pandang dan kegemaran akan bidang yang berbeda-beda.

Ide cerita pun hanya mengalir seputar berbagi pendapat tentang “apa itu skripsi? dan apa pentingnya? bla, bla, bla..”. Dan ini adalah ide yang tak lain adalah apa yang si empunya pelm rasakan beberapa bulan lalu yang juga masih mempertanyakan “apa pentingnya skripsi? and bla bla bla”. 

Jadi, bener juga kalo ada yang pernah bilang : “Cara paling mudah untuk mengungkapkan apa yang Anda rasakan, ya dengan menumpahkannya ke passion Anda.” Mau passionnya bisa nulis kek, bikin pelm kek, bikin lagu, kalo udah dapet feel-nya maka eksekusilah tanpa banyak basa-basi, niscaya itu akan menjadi sebuah karya yang membuat Andapun produktif. Mau hasilnya optimal atau nggak, itu balik lagi sama niat Anda saat mengeksekusi : anget-anget tai ayam, setengah-setangah, atau malah perfecto kayak Nadd ini.

Ini dia yang, menurut saya, mungkin saya masih tahap “setengah-setengah”, atau bahkan “anget-anget tai ayam”. Karena sepulangnya dari magang ke dua saya di Jakarta, saya merasa belum berbuat apa-apa untuk si passion ini. Kalopun sudah, itu pun hanya sampai batas “setengah” atau bahkan “seperempat” jalan, dan intinya semuanya kandas di tengah jalan. Dan saya selalu berdalih, lagi-lagi saya harus fokus ke skripsi.

Fokus menjadi masalah utama saya di sini. Kalo ada yang bilang cewek lebih fokus daripada cowok, mungkin saya termasuk dalam studi kasus yabg satu ini. Pasalnya, ketika saya terlalu asyik menjalani passion saya di musik, seringkali sulit untuk kembali menulis, bahkan untuk satu paragraf saja, dalam file ms word skripsi saya.

Maka saya simpulkan, saya nggak aneh-aneh dulu lah. Rela ninggalin passion untuk sementara waktu nggak apa-apa. Rencana pulang dari Jakarta pingin bikin media musik independen untuk Surabaya yang setidaknya jalan walau hanya online di tumblr atau blogspot pun belum terealisasi. Apalagi sampai ngundang band ini, tokoh itu, untuk dibawa ke Surabaya, waahh.. butuh banyak kepala itu. Yang artinya juga butuh banyak kepentingan. Hahaha.

Dari sini lah saya akhirnya bersikeras menjadikan skripsi sebagai kambing hitam untuk menelantarkan passion saya. Alhasil, ternyata ada sobat saya yang bisa memproduksi sebuah karya sederhana tapi nyaris sempurna di tengah-tengah mengerjakan skripsi. Dan saya sama dia, paling progress skripsinya gak jauh-jauh beda. Hahaha.

Ya sudahlah. Mungkin benar apa kata salah satu sahabat saya lainnya, Puspita. Dia bilang “Kita harus menghukum diri karena udah ninggalin skripsi begitu lama”. Dan mungkin salah satunya menghukum diri untuk tidak melampiaskan passion kita. Tapi, misalnya nanti saya mau kerja di luar passion saya, apa iya saya harus menghukum diri kayak gini juga? Ayolah, belajar seimbang lagi ya Zak!

Minggu, 23 September 2012

Refreshing Di Sela-sela Skripsi : (Masih) Perihal Kelulusan


Untuk ke sekian kalinya saya melihat foto-foto wisuda teman-teman saya yang berwisuda dari newsfeed jejaring sosial. Kemarin, 23 September 2012 memang jadwalnya wisuda 105 (begitu mereka menyebutnya kalo nggak salah) anak-anak ITS. Tak sedikit dari mereka adalah teman-teman seperjuangan semasa berseragam putih abu-abu, putih biru, bahkan putih-merah. Yang lainnya ada juga yang baru saya kenal ketika kuliah, maen band, dan satu tempat kerja dulu.

Di satu sisi ada rasa ikut senang dan bangga melihat ekspresi wajah mereka yang lega, gembira, puas, plong, atau apalah itu, memakai toga dan merayakan kelulusan jenjang tertinggi pendidikan yang mereka jalani.
Maklum, bagi sebagian besar orang di negeri ini : lulus S1 dan menjadi sarjana adalah kelulusan sebenarnya dan merupakan pencapaian tertinggi setelah wajib belajar dua belas tahun tentunya. Setelah itu mereka bisa mencari kerja atau belajar ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Mungkin saya termasuk di sebagian besar orang itu.

Namun, di sisi lainnya ada rasa sedih dan “ingin segera menyusul” mengingat status diri sendiri yang masih mahasiswa. Setiap melihat foto teman-teman diwisuda muncul di timeline atau newsfeed jejaring sosial beberapa bulan terakhir rasanya ingin menampar diri sendiri. Seperti ada yang berbisik, “Ayo, kon kapan? (Ayo, kamu kapan?)”.

Mungkin inilah yang tidak saya antisipasi sekitar hampir setahun yang lalu. Keputusan untuk magang dua kali dan berlagak bisa menyelesaikan skripsi sambil menempuh magang yang ke dua membuat saya berintrospeksi diri saat ini.

Bukan berintrospeksi karena menyesali keputusan itu, bukan. Justru saya merasa bersyukur sekali akhirnya bisa dan pernah menulis, bekerja, dan bahkan berkantor di salah satu majalah musik legendaris dunia cabang Indonesia, dengan orang-orang hebat yang saya panuti karya-karyanya.

Dapat menonton dan meliput konser-konser musisi-musisi lokal, nasional, dan dunia, bahkan meliput L’Arc-En-Ciel, salah satu band legend favorit saya sejak SMP, untuk majalah yang memang saya idolakan ini. Tak lupa juga berkenalan dengan Pure Saturday, legenda musik independen Negeri ini yang lagu-lagunya sontak menjadi soundtrack perjalanan magang saya di Jakarta kemarin.

Thanks God! Alhamdulillah, itu semua adalah kado termanis yang pernah Engkau berikan. Beberapa bulan kemarin terasa seperti menjadi William Miller dalam film Almost Famous jika saya tidak terlalu berlebihan. Selain Miller adalah anak lempeng yang tak bersentuhan dengan rokok dan alkohol, selama tugasnya meliput band Stillwater untuk majalah yang sama dengan tempat magang saya kemarin, ia juga menunda kelulusannya. Sama seperti keadaan saya. Ibunda Miller juga seorang ibu yang kolot dan tegas perihal akademis anaknya. Sekilas ini juga mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya.

Sialnya, dalam Almost Famous tidak diceritakan pasca tulisan Miller terbit. Apakah ia tetap bertugas di majalah itu? Apakah ia meneyelesaikan studi akademisnya? Kalo selesai, apakah ia juga tetap menjadi jurnalis rock?

Inilah yang tidak saya antisipasi saat sebelum memutuskan untuk magang kedua kalinya. Saya terlanjur mengikuti arus tanpa memperhitungkan kemampuan serta kapasistas saya, dalam hal membagi waktu terutama. Saya seperti terlalu optimis dan berpikir : “Udahlah dijalanin aja yang di depan mata. Magang sekaligus skripsi, bisa..bisa..”

Memang. Optimis itu harus. Sugesti “bisa” di depan itu memang ngasih kekuatan tersendiri. Tapi dua yang menjadi bahan introspeksi saya adalah “lihat kemampuan diri” dan “life is about the choice”.

 “Lihat kemampuan diri” ini ada hubungannya dengan berpikir realis. Dalam introspeksi ini saya tidak melihat adanya kecocokan antara kemampuan saya membagi waktu dengan deadline lulus tepat waktu empat tahun yang saya targetkan. Saya akui saya terlalu santai pasca magang selesai bulan Mei lalu. Mental “lingkungan band” dan kampus yang woles terlanjur melekat sampai beberapa waktu lalu. Belum lagi keadaan di rumah yang cenderung sepi dukungan lulus empat tahun. Inginnya istirahat satu bulan dulu, eh kebablasan jadi tiga bulanan.

Itulah kenapa saya sangat risih dan cenderung pengin nabok orang yang dengan seenak udhelnya melempar  kata-kata “selow”, “woles”, dan “santaaii”. Rasanya ingin membalas : “He, aku iki wes santaai, cenderung pemalas malah!! Mau nyuruh kuliah molor lagi kowe?? wooh…”. Secara tidak langsung itu meremehkan ke-selow-an saya lho. Hahahaha.

Perihal mengapa tidak diselesaikan saat magang. Di sini saya juga salah perhitungan. Magang sambil nyambi mengerjakan skripsi bukanlah hal yang remeh-temeh. Walaupun kerjanya bukan kerja rodi seperti di tempat kerja saya dulu tapi menjadi jurnalis rock yang cenderung liputan konser-konser yang adanya cuma malam hari, cukup membuat saya enggan membuka labtop lagi sesampainya di rumah.

“Life is about the choice”. Inilah yang baru saya sadari ketika berada di sebuah warung bubur Ayam bersama salah satu teman dekat saya saat bekerja di tempat lama dulu. Nasibnya tak ubahnya nasib saya yang sama-sama mendapatkan tawaran menggiurkan di semester-semester akhir. Dan ia pun terpaksa menunda kelulusannya.

Kurang lebih begini katanya : “Urip iku pilihan jeh. Mau gimana lagi. Aku wes mutusno ngambil tawaran (kerjaan) iki. Berarti ya konsekuensinya ya mau nggak mau lulus molor. Toh, kene molore untuk sesuatu yang sip dan kene nganggape iki gudhuk perkara entheng. Lulus..lulus..jeh. Hehehe”.

Intinya. Saya terlalu kemaruk beberapa waktu lalu. Sudah diberi kesempatan emas sama Tuhan, eh malah minta lebih. “Maafin Aim, ya Allah”. Nasi sudah menjadi bubur. Meskipun begitu saya tak pernah menganggap introspeksi ini adalah “nasi menjadi bubur”. Melaikan nasi yang sudah menjadi nasi kebuli, nasi goreng kambing, nasi kuning, nasi rawon, dan lain-lain. Semua terlalu berwarna untuk disesali, namun alangkah bijaknya untuk dijadikan introspeksi.

Alhamdulillah dengan molornya ini cita-cita saya jadi anak yang nggak lempeng sedikit tercapai. Maklum saya terlahir dan dididik dari keluarga lempeng. Maaf ya bu. Saya jadi anak yang mbeler dan sedikit molor kuliahnya. Tapi habis gini lulus kok. Amien. I miss you, Mom. Dan terakhir, semoga apa yang dikatakan teman saya ada benarnya.

“Mungkin saya tidak lulus tepat waktu. Tapi insyaAllah saya lulus di waktu yang tepat. Amien.” (Arief Rian, 2012)

Senin, 11 Juli 2011

Prodi Ilmu Komunikasi: Bikin Film Aja Disangka Hedon


Mahasiswa yang bikin film begini, disangka hedo
Siaran, shooting film, bikin Iklan, hingga jeprat-jepret keliling kota adalah ”makanan” sehari-hari mahasiswa ilmu Komunikasi Fisip Unair. Berpakaian rapi serta modis pun seringkali jadi ritual mereka saat ikut kelas-kelas tertentu. Karena alasan-alasan itu mahasiswa ilmu Komunikasi sering dicap hedon oleh lingkungannya. Namun siapa sangka, dibalik anggapan itu realitasnya justru tak sehedon ucapannya.

Cukup sulit juga memikirkan tema yang mau diangkat buat tulisan UAS Jurnalistik Online ini. Tema Urban Legend, pasti arahnya bakal menuju pada hal-hal yang mistis bin non realis. Dan..... seperti yang sudah saya duga. Hingga H-7 jam menuju deadline, saya membaca upload-an tulisan teman-teman di  Facebook, saya baru menemukan satu tulisan non-mistis. Itupun tulisan pacar saya sendiri karena emang janjian. Hehehe.
Beda. Itulah yang saya ingin coba sampaikan lewat tulisan saya. Oleh karena itu, mitos mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unair adalah mahasiswa yang hedon akan saya angkat kali ini. Sebuah mitos yang dekat dengan saya sebagai salah satu mahasiswanya, dan pastinya, mengalami sendiri kenyataan dari mitos itu setiap hari.

Sebelum kita meluncur lebih jauh, ada baiknya menyamakan persepsi hedon dengan istilah hedon yang saya tulis di sini. Hedon yang saya maksud adalah perilaku bersenang-senang seperti berfoya-foya, bergaya hidup glamor, menghabiskan uang, dan lain sebagainya yang intinya hidup senang.

Kata hedon sendiri berasal dari sebuah faham Hedonisme. Yakni  pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Definisi ini saya kutip dari situs Wikipedia.org.

Oke, kembali ke mahasiswa Komunikasi dan kehedonannya. Cap hedon untuk mahasiswa Komunikasi sebenarnya sudah saya dengar sejak masih kelas 3 SMA. Ketika pertama kali merencanakan masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi, banyak teman saya yang sudah mewanti-wanti, “Ati-ati lho! Komunikasi anaknya tajir-tajir. Tiap hari hedon melulu. Harus pinter-pinter milih temen di sana.”

Saya pun membantah, “Ah, bukannya yang hedon itu mahasiswa Ekonomi?”. “Ekonomi jelas hedon. Tapi dari segi gaya hidup aja. Kalo komunikasi, kuliahnya juga hedon. Seneng-seneng tok wes. Kayak bikin film, desain iklan, jadi penyiar radio, seneng-seneng tok lah pokoke” jawab mereka.

Sejak saat itu lah saya semakin berhasrat masuk ke jurusan hedon itu. Iming-iming kuliah senang-senang jadi harapan besar saya ketika kuliah nanti. Tapi, wanti-wanti soal hati-hati pilih kawan juga sempat mengganggu cita-cita saya ini. Dalam hati saya bertanya, “Jangan-jangan saya yang dari keluarga biasa-biasa saja ini dikucilkan dengan teman-teman yang tajir-tajir?”

Kenyataanya, setelah tiga tahun saya menimba ilmu di Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Unair, tidak terlalu seperti yang dibicarakan teman-teman saya ketka SMA. Seperti lingkungan pada umumnya, di kampus ini pun semua jenis orang ada. Ada orang tajir yang pilih-pilih teman, tapi nggak sedikit orang tajir yang mau berkawan dengan siapa saja.

Fakta terpentingnya adalah, tidak semua mahasiswa Komunikasi itu tajir. Banyak yang kelas sosialnya strata kelas menengah, ada yang kurang mampu, dan tidak sedikit pula yang merupakan kontingen daerah dan akhirnya harus hidup berhemat karena status mereka sebagai anak kost. Dan hampir semuanya tidak pilih-pilih teman.

“Nggak semua teman-temanku jurusan Ilmu Komunikasi kayak gitu (tajir dan hedon)semua. Malah lebih banyak anak kost-nya, yang setiap hari harus itung-itung duit dulu untuk  sekedar makan tiga kali sehari,” cerita Abdul Chodir, Presiden BEM Fisip Unair 2009-2010.

Anggapan hedon bagi mahasiswa Komunikasi memang benar ada, terutama dari rekan-rekan sesama program studi di Fisip. Keterlibatan yang kurang dengan kegiatan kemahasiswaan di kampus jadi alasan lain selain karena alasan-alasan di atas. Mahasiswa Komunikasi malah sering terlihat di luar kampus ketimbang di dalam kampus mengikuti kegiatan-kegiatan seperti demonstrasi, seminar, serta diskusi-diskusi ilmiah.

“Anak kom (Komunikasi) itu berkegiatannya lebih banyak di luar dari pada di dalam kampus. Hal itu yang jadi alasan temen-temen prodi lain menilai anak kom itu hedon dan kurang peduli sama lingkungan sekitar mungkin ya?” tambah Chodir yang juga merupakan mahasiswa Sosiologi semester akhir ini.

Saya sendiri sebagai mahasiswa Komunikasi sendiri miris mendengar cap hedon justru muncul dari cibiran teman-teman Fisip karena alasan seperti itu. Toh pada kenyataannya masih ada teman-teman saya, sesama mahasiswa Komunikasi, yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampus.  

Beberapa di antara mereka ada yang menjadi penulis dan fotografer bulletin bulanan Fisip “JENDELA”, beberapa ada yang menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Badan Legislatif Mahasiswa (BLM), bahkan yang terbaru yang saya dengar calon ketua UFO, Masa orientasi untuk mahasiswa baru di Fisip adalah teman-teman saya sendiri sesama mahasiswa Komunikasi.

Cap hedon bagi mahasiswa Komunikasi  memang bukan cerita baru. Stereotype seperti itu sudah ada sejak dekade 90-an lalu. Kajian keilmuan Komunikasi yang setiap hari berkutat di bidang-bidang yang fun dan keterlibatan minim pada kegiatan-kegiatan kampus memang jadi penyebab utama “mitos” tersebut. Hal ini pun dibenarkan Kandi Aryani, salah seorang dosenProdi  Ilmu Komunikasi Fisip Unair.

“Itu fenomena basi. Jadi dari tahun angkatanku, tahun ’98, itu sudah ada wacana bahwa Komunikasi itu adalah jurusan yang hedon. Mereka melihat dari apa yang tampak di luar saja. Mahasiswa Komunikasi tiap hari bikin film, desain poster, buat iklan, padahal itu memang bidang kajian mereka,” ungkap Kandi, yang juga alumni Ilmu Komunikasi Unair angkatan 1998.

Kandi tidak pernah merasa risih dengan sebutan mahasiswa hedon. Dia mengaku hanya berusaha ignore saja ketika ada selentingan teman lain prodi berkata seperti itu. Karena menurutnya mereka yang menyebut Ilmu Komunikasi itu hedon, belum tentu mengerti apa itu hedon.

“Apakah karena kami suka bikin-bikin film terus kami disebut hedon? Paham tidak mereka bahwa film juga merupakan sebuah bidang keilmuan yang dipelajari secara serius? Mereka tidak tahu saja bahwa mahasiswa Komunikasi pun risetnya sudah ke mana-mana. Dan itu semua jelas berhubungan dengan kepentingan sosial. Bahkan lebih bersifat real ketimbang hanya berdemonstrasi,” tegas dosen Media dan Gender ini ketus.

Sejak jaman Kandi masih menjadi mahasiswa hingga sekarang sudah menjadi dosen, banyak perubahan yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi Komunikasi terkait anggapan hedon dan acuh dengan lingkungan sosial. Meskipun susah untuk melihat perkembangan itu dikarenakan jumlah mahasiswa yang kian bertambah tiap tahunnya, namun hal ini masih dapat dipantau.

“Indikasinya adalah mata kuliah praktik. Semakin banyak yang meminati mata kuliah ini, maka semakin tinggi pula tingkat kepedulian si mahasiswa terhadap lingkungan sosial. Kepedulian itu akan semakin terlihat jika kita terlibat langsung dalam praktik. Nah, praktik kami ya di bidang-bidang yang menyenangkan ini,” kata Kandi mengakhiri pembicaraan