Untuk ke sekian kalinya
saya melihat foto-foto wisuda teman-teman saya yang berwisuda dari newsfeed
jejaring sosial. Kemarin, 23 September 2012 memang jadwalnya wisuda 105
(begitu mereka menyebutnya kalo nggak salah) anak-anak ITS. Tak sedikit dari
mereka adalah teman-teman seperjuangan semasa berseragam putih abu-abu, putih
biru, bahkan putih-merah. Yang lainnya ada juga yang baru saya kenal ketika
kuliah, maen band, dan satu tempat kerja dulu.
Di satu sisi ada rasa
ikut senang dan bangga melihat ekspresi wajah mereka yang lega, gembira, puas,
plong, atau apalah itu, memakai toga dan merayakan kelulusan jenjang tertinggi
pendidikan yang mereka jalani.
Maklum, bagi sebagian
besar orang di negeri ini : lulus S1 dan menjadi sarjana adalah kelulusan
sebenarnya dan merupakan pencapaian tertinggi setelah wajib belajar dua belas
tahun tentunya. Setelah itu mereka bisa mencari kerja atau belajar ke jenjang
yang lebih tinggi lagi. Mungkin saya termasuk di sebagian besar orang itu.
Namun, di sisi lainnya
ada rasa sedih dan “ingin segera menyusul” mengingat status diri sendiri yang
masih mahasiswa. Setiap melihat foto teman-teman diwisuda muncul di timeline
atau newsfeed jejaring sosial beberapa bulan terakhir rasanya ingin menampar
diri sendiri. Seperti ada yang berbisik, “Ayo, kon kapan? (Ayo, kamu kapan?)”.
Mungkin inilah yang
tidak saya antisipasi sekitar hampir setahun yang lalu. Keputusan untuk magang
dua kali dan berlagak bisa menyelesaikan skripsi sambil menempuh magang yang ke
dua membuat saya berintrospeksi diri saat ini.
Bukan berintrospeksi
karena menyesali keputusan itu, bukan. Justru saya merasa bersyukur sekali
akhirnya bisa dan pernah menulis, bekerja, dan bahkan berkantor di salah satu
majalah musik legendaris dunia cabang Indonesia, dengan orang-orang hebat yang
saya panuti karya-karyanya.
Dapat menonton dan
meliput konser-konser musisi-musisi lokal, nasional, dan dunia, bahkan meliput
L’Arc-En-Ciel, salah satu band legend
favorit saya sejak SMP, untuk majalah yang memang saya idolakan ini. Tak lupa
juga berkenalan dengan Pure Saturday, legenda musik independen Negeri ini yang
lagu-lagunya sontak menjadi soundtrack perjalanan magang saya di Jakarta
kemarin.
Thanks God!
Alhamdulillah, itu semua adalah kado termanis yang pernah Engkau berikan.
Beberapa bulan kemarin terasa seperti menjadi William Miller dalam film Almost
Famous jika saya tidak terlalu berlebihan. Selain Miller adalah anak lempeng
yang tak bersentuhan dengan rokok dan alkohol, selama tugasnya meliput band
Stillwater untuk majalah yang sama dengan tempat magang saya kemarin, ia juga
menunda kelulusannya. Sama seperti keadaan saya. Ibunda Miller juga seorang ibu
yang kolot dan tegas perihal akademis anaknya. Sekilas ini juga mengingatkan
saya pada almarhumah ibu saya.
Sialnya, dalam Almost
Famous tidak diceritakan pasca tulisan Miller terbit. Apakah ia tetap bertugas
di majalah itu? Apakah ia meneyelesaikan studi akademisnya? Kalo selesai,
apakah ia juga tetap menjadi jurnalis rock?
Inilah yang tidak saya
antisipasi saat sebelum memutuskan untuk magang kedua kalinya. Saya terlanjur
mengikuti arus tanpa memperhitungkan kemampuan serta kapasistas saya, dalam hal
membagi waktu terutama. Saya seperti terlalu optimis dan berpikir : “Udahlah
dijalanin aja yang di depan mata. Magang sekaligus skripsi, bisa..bisa..”
Memang. Optimis itu
harus. Sugesti “bisa” di depan itu memang ngasih kekuatan tersendiri. Tapi dua
yang menjadi bahan introspeksi saya adalah “lihat kemampuan diri” dan “life is
about the choice”.
“Lihat kemampuan diri” ini ada hubungannya
dengan berpikir realis. Dalam introspeksi ini saya tidak melihat adanya
kecocokan antara kemampuan saya membagi waktu dengan deadline lulus tepat waktu empat tahun yang saya targetkan. Saya
akui saya terlalu santai pasca magang selesai bulan Mei lalu. Mental “lingkungan
band” dan kampus yang woles terlanjur melekat sampai beberapa waktu lalu. Belum
lagi keadaan di rumah yang cenderung sepi dukungan lulus empat tahun. Inginnya
istirahat satu bulan dulu, eh kebablasan jadi tiga bulanan.
Itulah kenapa saya
sangat risih dan cenderung pengin nabok orang yang dengan seenak udhelnya
melempar kata-kata “selow”, “woles”, dan
“santaaii”. Rasanya ingin membalas : “He, aku iki wes santaai, cenderung
pemalas malah!! Mau nyuruh kuliah molor lagi kowe?? wooh…”. Secara tidak
langsung itu meremehkan ke-selow-an saya lho. Hahahaha.
Perihal mengapa tidak
diselesaikan saat magang. Di sini saya juga salah perhitungan. Magang sambil
nyambi mengerjakan skripsi bukanlah hal yang remeh-temeh. Walaupun kerjanya
bukan kerja rodi seperti di tempat kerja saya dulu tapi menjadi jurnalis rock
yang cenderung liputan konser-konser yang adanya cuma malam hari, cukup membuat
saya enggan membuka labtop lagi sesampainya di rumah.
“Life is about the
choice”. Inilah yang baru saya sadari ketika berada di sebuah warung bubur Ayam
bersama salah satu teman dekat saya saat bekerja di tempat lama dulu. Nasibnya
tak ubahnya nasib saya yang sama-sama mendapatkan tawaran menggiurkan di
semester-semester akhir. Dan ia pun terpaksa menunda kelulusannya.
Kurang lebih begini
katanya : “Urip iku pilihan jeh. Mau gimana lagi. Aku wes mutusno ngambil tawaran
(kerjaan) iki. Berarti ya konsekuensinya ya mau nggak mau lulus molor. Toh,
kene molore untuk sesuatu yang sip dan kene nganggape iki gudhuk perkara entheng.
Lulus..lulus..jeh. Hehehe”.
Intinya. Saya terlalu kemaruk beberapa waktu lalu. Sudah diberi kesempatan emas sama Tuhan, eh malah minta lebih. “Maafin Aim, ya Allah”. Nasi sudah menjadi bubur. Meskipun begitu saya tak pernah menganggap introspeksi ini adalah “nasi menjadi bubur”. Melaikan nasi yang sudah menjadi nasi kebuli, nasi goreng kambing, nasi kuning, nasi rawon, dan lain-lain. Semua terlalu berwarna untuk disesali, namun alangkah bijaknya untuk dijadikan introspeksi.
Alhamdulillah dengan
molornya ini cita-cita saya jadi anak yang nggak lempeng sedikit tercapai. Maklum
saya terlahir dan dididik dari keluarga lempeng. Maaf ya bu. Saya jadi anak
yang mbeler dan sedikit molor kuliahnya. Tapi habis gini lulus kok. Amien. I
miss you, Mom. Dan terakhir, semoga apa yang dikatakan teman saya ada benarnya.
“Mungkin saya tidak
lulus tepat waktu. Tapi insyaAllah saya lulus di waktu yang tepat. Amien.” (Arief
Rian, 2012)
pasti kamu luluus kok..
BalasHapusayo nanti kita wisuda bareng yah! <3 u
iyaaa. makasih ya bebeeeeeb... Tidak ada istilah PW diantara kita hehehe... Tunggu aku ya
BalasHapus